Motivation

"Berani Itu Emas" (Mario Teguh)
"Yakinlah! Maka Anda akan Mendapatkannya" (Martha Zhahira El-Kutuby)

Rabu, 14 Maret 2012

Ketika Hijab Menyapaku

Rinai hujan membasahi setiap relung hatiku
Berkata disetiap langkahku yang gontai berliku
Aku mengeja namaMu dengan sepenuh jiwaku
Berharap Engkau berikan cahaya pada batinku

Ketika hijabMu  menyapaku
Aku bersujud lelah didepanMu
Aku berucap syukur dikemahaanMu
Tuhan, tetapkan hijabMu dalam dadaku

Martha Syaflina
Bukittinggi, 15 Maret 2012


    Dulu, ketika aku masih di sekolah dasar, aku sering menggunakan hijab untuk pergi mengaji. Ketika sholat Idul Fitri, aku juga memakai hijab. Namun, masih belum sempurna karena aku masih belum terlalu tahu apa makna dibalik memakai hijab. Memang banyak godaan ketika kita akan meluruskan jalan untuk berbuat baik, tapi aku sudah curhat sama mama untuk memakai hijab.

    Setelah lepas dari sekolah dasar, aku masih sederhana. Hijabku hanya penutup kepala dan leher sederhana saja. Ketika aku mendaftar masuk sekolah menengah pertama, aku memakain hijab. Ketika aku pulang ke kampung aku memakai hijab. Tapi, setelah sampai dikampung aku membuka hijab, alasanku hanya satu,”kan kita dirumah, ngapain pake hijab, lagian kan panas”. Begitulah aku berceloteh saat pertama memakai hijab.
    Setahun berlalu, aku masih seperti itu juga. Hanya memakai hijab ketika aku mau pergi sekolah, bermain dengan teman, dan untuk acara keagamaan lainnya. Tidak ada perubahan maupun kegeseran niat untukku mengubah diri ini untuk tetap memakai hijab. Alasan yang paling fenomenal adalah kalau aku belum siap untuk memakai hijab, jangan dipakai karena akan mempertebal jurang neraka. Aku pun berpikir keras.
    Masa-masa yang sungguh menyenangkan dan juga menyedihkan. Ketika aku mendapatkan penyakit asma, yang mengharuskan diriku tidak berada ditempat yang dingin. Sementara itu, aku tinggal dengan tante dibawah bukit, namanya Bukit Kawin (letaknya di Sumatera Barat Kabupaten Agam). Aku tiap sebentar sesak napas. Dari sanalah aku mendapatkan dorongan batin untuk mengenakan hijab.
    Aku sempat berpikir begini, kalau aku memakai hijab dinegeri yang dingin ini, mungkin tenggorokan dan dadaku akan terasa hangat dan sejuk, sehingga penyakitku bisa sembuh. Aku coba memakai hijab ketika hujan dan dingin melanda tempat aku tinggal, kalau hari sudah panas aku membuka hijab untuk dirumah saja. Memang terasa sejuk, aku tidak sering lagi untuk sesak napas. Obatku yang diberikan dokter hanya aku buang begitu saja.
    Lama juga aku berobat, sekitar enam bulan berlalu begitu saja. Obat tersebut kadang aku makan dan kadang pula aku buang. Aku bosan makan obat itu. Mama kembali membawaku ke dokter untuk check up paru-paru dan tenggorokanku. Dokter menyatakan aku telah sembuh. Syukurku memang tak putus-putusnya saat itu. Aku kembali mencari makna hijab yang aku pakai ketika aku sakit dahulu.
    Aku berpikir sekian lama. Ketika aku mulai bisa menuliskan pengalamanku sendiri. Aku menuliskan di kepalaku bahwa hijab adalah penyembuh penyakitku. Begitu pula ketika aku terserang penyakit batuk, aku memakai hijab dan dua hari kemudian aku sembuh dari batuk. Ini adalah menfaat hijab yang baru aku dapatkan dengan pengalamanku sendiri.
    Namun, hal itu belumlah membuka hatiku untuk memakai hijab terus menerus. Libur panjang telah datang. Aku pulang ke kampung untuk bertemu dengan mama dan papa serta adik-adik tercintaku karena aku adalah anak pertama. Mereka menyambutku dengan gembira. Aku juga senang.
    Sore hari, dikampung itu, namanya Jorong Air Kijang Kabupaten Agam. Papa membuka sebuah kedai kecil-kecilan disamping beliau bekerja jadi kepala tata usaha SMA. Aku duduk di kursi dekat pintu kedai itu. Ketika itu aku masih dihantui banyak jerawat, karena aku sering malas buat cuci muka. Jadi, aku alergi.
    Ada seorang pembeli menghampiri kedaiku, dia juga menyapaku dengan ramah tapi pedih menyinggung hatiku. Dia berkata begini,”banyak amat jerawatnya, dek? Kemaren waktu pulang nggak ada liat jerawat sebanyak ini”. Mamaku menjawab,”Ya, dia kan udah remaja, memang seperti itu”. Aku lega dan hanya tersenyum. Aku berpikir dengan berkata dalam hati. Bagaimana jika aku menggunakan hijab? Mungkin jerawatku akan tertutup dan  orang-orang tidak menyinggung aku lagi.
    Aku mencoba untuk memakai hijab mulai hari itu. Setelah mandi dan membersihkan diri, aku selalu memakai hijab. Mama sempat bertanya,”nggak panas tuh pakai hijab tiap hari?”. Aku jawab aja,”nggak kok, Ma! Enak pakai hijab lagi, kan bisa tertutup jerawatnya. Lagian pakai hijab itu menyejukkan juga.” Mama tertegun. Dia tidak pernah lagi mengomentari aku memakai hijab. Aku juga senang memakainya.
    Mulai saat itu aku tidak lagi mendapatkan omongan yang menyinggung dari siapa pun. Malah aku mendapat perkataan seperti ini,”eh, udah pakai hijab, ya! Baguslah!”. Aku juga senang diberikan kata-kata begitu.
    Lama sudah aku mengikuti hatiku untuk memakai hijab. Saatnya Idul Fitri datang. Semua keluargaku pulang ke kampung untuk berkumpul. Dia hanya terkejut melihatku memakai hijab. Mereka awalnya mencemooh, tapi aku diam dan tersenyum saja. Aku tahu bahwa ini adalah tantangan terbesar ketika seseorang akan meluruskan jiwa dan batinnya ke jalan Allah.
    Begitu pula ketika aku kembali ke tempat tinggalku yang berada dibawah bukit itu. Aku selalu memakai hijab. Sejuknya hijab telah mewarnai hatiku. Aku mulai membeli hijab untuk aku pakai bepergian dan ketika akan ada undangan dari teman buat pergi main.
    Masaku berubah, SMA menyapaku dengan mudah. Ketika aku ditanya teman apakah aku memakai jilbab ketika akan bepergian, aku menjawab “iya”. Mereka lalu terdiam. Masa ini aku tinggal di rumah kos. Ketika aku didalam kamar kos, aku tidak memakai hijab, karena semua yang melihatku hanya perempuan semua. Tapi, aku merasa berdosa ketika aku tidak memakai hijab di dekat bapak kosku. Namun, aku tepis semua rasa bersalahku. Aku berniat lagi bahwa aku akan menetapkan hatiku untuk memakai hijab setelah aku menikah nanti.
    Namun, semua itu baru hanya mimpi. Aku bukanlah manusia sempurna dalam akidah, tapi aku adalah manusia sempurna yang diciptakan Tuhan. Aku kembali meyakinkan pada hati kecilku bahwa aku akan berubah dengan cepat. Sebelum kematian semakin tak sabar bertemu denganku.
Martha Syaflina
(Hijab itu Pengobat Jiwaku yang Sakit)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar